CRUSH!!
“Ri,
Tunggu!!”
Aku berhenti melangkah dan menoleh ke belakang. Ternyata
Niko, sahabatku. Dia berlari pelan menghampiriku dengan tas selempang yang
masih tercangklong di pundaknya. Seragam putih birunya pun masih terlihat rapid
an belum berantakan. Rupanya dia baru dating dan belum menaruh tas. Rambut
ikalnya yang sedikit kecokelatan itu bersinar karena tertimpa cahaya matahari
pagi di kota kecilku ini. Sementara senyum jahilnya seperti biasa selalu
tersungging apabila dia sudah bertemu denganku.
“Ada apa, Nik? Kok sampai lari-lari begitu?” tanyaku
menahan tawa malihat rambut ikalnya yang mirip dengan Giring Nidji itu.
“Nanti pulang sekolah ketemuan di balkon lantai dua, ya”
jawabnya sumringah. Di ulurkannya tangan sebelah kanan dan di acaknya rambut
panjangku yang sudah rapi dengan kikikan pelan.
“Aduh.. bisa kali ngga perlu ngacakin rambut” kataku
kesal dan memukul tubuhnya dengan novel tebal yang selalu ku bawa selama dua
harian ini. Dan dia malah tertawa senang menanggapi ke kesalanku. “Mau ngapain kesana?”
“Ada yang pengen gue omongin sama lu” katanya sambil
mengusap rambut ikalnya pelan. “Penting! Oke?”
Aku memperhatikan kebiasaannya yang selalu memainkan
rambutnya itu dengan perasaan gugup. Ya tuhan, aku suka sekali saat dia
melakukan itu, batinku meringis. Aku bahkan harus berushaa selama seperkian
detik agar kedua bola mata hitamku yang nakal ini mau berhenti untuk mencuri
pandang. Dan saat hal itu berhasil ku lakukan, pria jangkung itu malah sudah
pergi sambil mengucapkan sesuatu yang tidak jelas terdengar olehku. Aku masih
tetap berdiri disana dan memperhatikannya berlari masuk ke kelasnya yang ada d
ujung lantai satu. Dan setelah akhirnya dia menghilang, aku pun berbalik dan
mulai berjalan masuk ke kelasku yang berada jauh dari kelas sahabatku itu. Tak
hentinya aku membodohi tingkahku yang sedikit menjengkelkan ini.
*
* *
Siang itu aku sudah berdiri dengan gelisah di balkon
lantai dua sekolahku. Sudah 45 menit aku menunggu kedatangan Niko, tapi dia tak
kunjung juga tiba. Aku sudah mulai kesal an bosan. Sejak tadi aku hanya bisa
berdiri, lalu duduk, membaca novel, dan berdiri lagi. Sesekali aku melambaikan
tangan ke bawah saat ada teman yang menyapaku dan bersiap pulang. Sementara aku
seperti gadis bodoh, masih berdiri di lantai dua untuk menunggu Niko sampai
akhirnya lantai dua benar-benar kosong dan tidak ada lagi adik kelasku, kelas
8, yang masih ada di kelas.
Sebenarnya aku bisa saja pulang dan tidak perlu
menantikan kehadiran Niko. Tapi entah kenapa aku penasaran dengan apa yang
ingin di bicarakan oleh Niko. Laki-laki itu bilang obrolannya penting. Hufft!
Sepenting apa sih obrolannya? Gerutuku malas.
Berulang kali aku menghentakkan
kakiku ke lantai, berusaha mengusir rasa bosan. Tapi tetap saja rasa bosan itu
tidak mau pergi. ‘Nikooo, lama banget sih lu. Gue udah lumutan nih’ aku mendumel
sendiri seperti orang yang tidak waras.
“Loh, Rianti? Lagi apa disini?”
Aku menoleh dan benar-benar kaget
saat mendapati Siska sudah ada di sampingku. Aku bahkan tidak bisa berhenti
menatap dia yang cantik dengan rambut ikal, hidung mancung, dan kulit kuning
langsat. Dan aku merasa aku tidak memiliki apa-apa di badingkan dengannya. Niko
benar-benar pintar dalam memilih pacar.
Aku menggeleng pelan membuang semua
lamunanku itu. Dan menjawabnya dengan sedikit terbata, “Oh, sis, hai. Belum
pulang?” Bagaimana kalau dia tahu aku sedang menunggu pacarnya? Sahabat macam
apa aku ini. Batinku nyiksa.
“Belum nih. Gue mau nonton si Niko
sparing basket dulu. Kan ada sparing di sekolah tetangga siang ini” kata Siska
membetulkan kacamatanya yang agak turun.
“Sparing?” kataku agak pelan.
Sampai-sampai aku melolot bulat-bulat sangking tidak percayanya.
“Ya, kenapa Ri? Kok kayaknya lu
kaget banget. Sampe melotot gitu” Tanya Siska dengan kerutan di dahinya saat
melihat ekspresiku.
“Ngga, gue ngga kenapa-napa kok.
Cuma-gue.. gue kan mau nonton juga” jawabku berbohong.
“Mau bareng aja sama gue ngga?”
tawar Siska.
“Eh, ngga usah Sis. Gue sendiri aja
nanti. Lagian gue mau nyelesaiin novel ini dulu, tanggung” kataku sambil
mengangkat novel yang memang sebentar lagi sudah habis ku baca.
“Oh, ya udah, gue duluan ya”
Aku mengangguk sambil tersenyum
gugup. Ku perhatikan Siska yang mulai berjalan menuruni lantai dua dan pergi ke
sekolah tetangga. Aku menghela nafas lega dan tubuhku pun merosot turun ke
lantai. Hufft! Untung aja dia ngga curiga, batinku sambil mengusap
dahiku yang sedikit berkeringat karena ngeri kalau sampai nanti Siska tahu apa
yang sedang ku lakukan saat ini.
“Ri, Siska udah pergi, ya?”
“Ya ampun!!” seru kencang saat
tiba-tiba saja ada yang menyentuh bahuku. Aku sampai terlonjak bangun dari
dudukku karena kagetnya.
“Sssstttt! Ini gue, Niko. Jangan
berisik dong”
Aku menoleh dan melihat Niko yang
sedang membungkuk dengan baju basket merah dengan nomor 1 di punggungnya. Tanda
bahwa dia sudah bersiap untuk sparing basket melawan sekolah lain. “Lu ngagetin
gue aja deh! Datang tiba-tiba begitu. Mana datengnya lama banget lagi. Kenapa
juga lu ngga bilang kalau lu mau sparing? Jadi kan..”
“Sst! Di bilang diem malah nyerocos
terus” kata Niko sambil membekap mulutku dengan tangannya.
Aku menarik tangannya hingga lepas
dan mulai menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Niko memang gila, hampir saja
aku mati di buat olehnya. “Anjrit, gue ngga bisa napas tau” kataku sewot.
“Ya, sorry deh. Siska bener udah
ngga ada kan?” Tanya Niko sekali lagi memastikan.
“Udah ngga ada kok. Cepetan, lu mau
ngomong apa?”
“Ini soal ade-adean gue Ri. Si
Tania. Dia ngasih surat ke gue kemaren”
“Mana suratnya?” pintaku lalu duduk
di sampingnya yang masih terengah-engah. Sepertinya dia berlari tadi untuk
sampai di lantai dua ini.
Niko merogoh sakunya dan
mengeluarkan selembar kertas putih dengan coretan tangan yang rapi di dalamnya.
Aku membuka surat itu setelah sampai di tanganku. Segera kubaca isinya tanpa
menghiraukan ocehan tidak jelas Niko yang tidak berhenti. Surat ini sudah yang
ke empat kalinya, dan isinya tetap sama. “Sama aja” kataku melempar kembali
surat itu ke Niko.
“Maksudnya?”
“Itu ungkapan isi hati dia buat lu.
Dia suka sama lu” kataku mencoba biasa. Walaupun sebenarnya hatiku sangat kesal
dan marah saat membaca surat yang penuh kata-kata cinta itu. Hufft, entah sudah
adik-adikannya yang ke berapa yang mengiriminya surat seperti itu.
“Bener kan. Setiap gue deket sama
cewek pasti ujungnya selalu suka” keluh Niko menyandarkan kepalanya di tembok.
“Karena emang lu yang salah. Lu tuh
yang selalu ngasih harapan ngga jelas ke cewek dengan ngedeketin dia dan ngasih
perhatian lebih ke mereka. Gimana ngga jatuh cinta?” kataku ketus.
“Tapi untungnya lu sama Dina ngga,
kan?” katanya dengan senyum sumringah.
Dina adalah sahabat aku dan Niko
sejak kelas 8. Dia memang tidak mungkin jatuh cinta pada Niko karena dia sudah
punya pacar. Lalu, aku? Dia tidak tahu saja kalau sebenarnya aku juga memiliki
rasa yang sama seperti gadis lain yang jatuh cinta padanya. “Ya, untungnya”
kataku pelan.
“Oh, ya. Gimana sama temen lu yang
namanya Tatsuya itu?” tanyanya soal teman facebookku yang tinggal di Jepang
lalu menoleh dan menatapku tepat di mata hitamku.
Aku tidak tahu sikapku ini
berlebihan atau tidak. Yang pasti, sedetik setelah dia menatap mataku, aku
langsung mengalihkan pandanganku ke bawah. Aku tidak ingin menatap matanya
terlalu lama, karena itu akan membuatku mati kutu dan tidak berdaya. “Oh, dia.
Dia baik banget deh. Ternyata dia benar-benar sama seperti yang ada di novel.
Tipikal cowok keren yang ngga bisa di tolak deh. Tapi, sayang aja umurnya beda
lima tahun sama gue. Dia dua puluh, gue lima belas” jawabku panjang lebar.
“Hem, Ri, gue Cuma mau nyaranin
sesuatu ke lu. Lebih baik, lu jangan pacaran sama dia deh, lagian dia belum
jelas juga kan. Dan dia jauh lebih tua dari lu. Mendingan kalian temenan aja
dulu”
Aku menoleh dan memperhatikan dia
yang sedang menata lurus kedepan dalam diam. Lalu tawaku pun langsung meledak
setelah dia menoleh menatapku. “Pacaran?”
Niko menatapku dengan heran. Dia
bahkan memegangi bahuku yang berguncang karena tawa. “Lu kenapa sih?” tanyanya.
“Lu si aneh-aneh aja. Lagian, siapa
juga yang mau pacaran sama tuh cowok? Ketemu aja gue belum” jawabku masih
sedikit terkikik.
“Oh, gue kira gitu” kata dia pelan
lalu bangun. “Ya udah, gue mau sparing dulu nih. Sepuluh menit lagi udah mau
mulai”
Aku bangun dan merapikan rokku yang
sedikit berantakkan dan mengangguk. “Ya. Lagian, nanti Siska curiga lagi lu
ngga ada disana. Sekaian, gue juga mau nonton. Yuk!”
Niko langsung berjalan dengan
menyesuaikan langkahnya dengan langkahku yang satu kali lipat lebih lama dari
langkahnya yang lebar. Kami pun meninggalkan sekolah yang sudah benar-benar
sepi karena semua murid dan guru sudah pulang.
*
* *
“Gimana tadi sparing, Ri?” Tanya
Dina malam itu saat dia menelponku untuk menanyai soal PR yang harus kami
kerjakan untuk besok karena tadi dia tidak hadir di kelas.
“Menang kok. Berkat si Niko sama
temen-temennya, kita juara satu lagi” jawabku tersenyum seperti orang bodoh.
Karena tentu saja Dina tidak bisa melihatku tersenyum.
“Wah, seneng dong lu dia menang”
sindir Dina tertawa pelan.
“Apa sih lu, Din. Ngga usah nyindir
gue gitu deh” kataku malu. Saat ini, semburat merah sudah menjalar di pipiku
dan menciptakan rasa panas yang membakar.
“Udahlah Ri, gue tau kok lu suka
banget sama dia. Kenapa lu ngga ngomong aja sih sama dia? Biar dia tahu gimana perasaan
lu juga. Lu kan udah suka sama dia sejak dua tahun lalu”
Aku diam sebentar dan mulai
menjawab. “Tapi, dia kan udah punya pacar. Siska”
“Ya ampun, Cuma nyatain perasaan
aja. Ngga perlu jadi pacar. Supaya dia tahu” paksa Dina entah untuk yang keberapa
kalinya selama setahun ini setelah dia mengetahui perasaaku yang sesungguhnya
terhadap Niko.
“Tapi, kalau nanti dia jadi jauhin
gue gimana?” tanyaku takut.
“Lu lihat aja, udah berapa kali
temen ceweknya nembak dia, tapi dia tetep deket sama tuh cewek-cewek” jawab
Dina dengan nada yakin.
“Gue kan takut din”
“Kalau takut terus kapan majunya sih
Ri” kata Dina kesal. “Pokoknya gue harap lu mau ngomong sama dia tentang
perasaan lu. Kalau bisa besok”
“Besok?” seruku. “Gila lu, ya?”
“Kenapa? Daripada di tunda terus.”
Aku menghela nafas perlahan. “Ngga
tau deh Din. Lihat besok aja ya”
“Ya udah. Gue tunggu loh” kata Dina
lalu mengakhiri percakapan malam itu.
Aku rebahkan tubuhku di kasur dan
mulai mempertimbangkan saran Dina yang kuanggap gila itu. Mungkin dia benar,
tidak seharusnya aku terlalu lama menyimpan perasaan ini. Seharusnya aku bisa
memberitahukannya secara mudah. Toh, Niko itu sahabatku kok, pasti dia
ngerti¸ batinku yakin.
*
* *
Esoknya,
aku sudah berdiri di balik tembok kelas
9K tempat dimana Niko saat ini sedang mengobrol dengan teman sebangkunya. Kelas
itu sudah mulai kosong karena istirahat dan hanya ada beberapa anak yang masih
betah duduk di kelas.
Aku
sekali lagi mempertimbangkan saran Dina yang semalam. Berharap semoga pilihanku
untuk mengutarakan perasaanku hari ini juga bukanlah hal yang buruk. Lagipula,
Dina bener, gue ngga boleh lama-lama nyimpen perasaan gue, bisikku pada
diri sendiri dengan pelan. Bismillah, ucapku.
Kulangkahkan
kakiku memasuki ruang kelas itu dengan langkah lebar yang ku yakini akan
membuatku merasa lega setelah mengutarakan perasaanku ini. Ku hampiri meja Niko
yang berada tepat di belakang sebelah ujung. Dari jauh dia sudah
memperhatikanku yang memasuki kelasnya. Mungkin dia heran melihatku dating
tiba-tiba ke kelasnya dengan wajah yang entah seperti apa saat ini. Takut,
gugup dan rasa percaya diri bercampur menjadi satu saat ini.
“Rianti,
ada apa?” tanyanya.
Ku
tarik nafasku panjang-panjang dan mulai bicara. “Nik, gue mau ngomong sesuatu
sama lu. Gue tau mungkin menurut lu gila kalau saat ini juga lu denger
pengakuan cinta dari gue, sahabat lu. Tapi, ya, itu bener, gue mau nyatain
perasaan gue ke lu. Gue mau bilang gue suka sama lu, sayang bahkan” kataku
berhenti sebentar untuk melihat ekspresi Niko yang ternyata sedang tercengang
sekarang. Aku tidak peduli, segera ku lanjutkan kata-kataku yang seperti bom
atom itu. “Kalau lu mau tahu sejak kapan, itu semua sejak dua tahun lalu. Tepat
saat kita sekelas dan gue kenal lu untuk yang pertama kali. Gue emang sadar gue
bukan siapa-siapa buat jadi cewek lu. Gue Cuma sahabat jelek yang dengan
percaya dirinya mau nyatain perasaan ke lu. Jadi, lu ngga perlu jawab apa-apa.
Ok?”
Aku
tahu saat ini nafasku sedang terengah-engah dan semua mata tertuju padaku,
bahkan Niko pun terbelalak kaget tidak percaya dan sedikit ternganga, tapi aku
tidak peduli. Yang pasti saat ini, aku sudah mengutarakan semua perasaanku
untuknya. Ku pandangi terus wajahnya yang masih terkaget-kaget dan bingung itu.
Entah kenapa kepalaku mulai pusing dan terasa berat. Wajah Niko yang sedang ku
pandangi pun mulai terasa pudar di mataku. Aku memegangi kepalaku dengan
linglung dan …
*
* *
“Ri? RIANTI!!!”
Aku mengerjap
pelan dan terlonjak kaget saat kulihat Niko sudah ada di hadapanku. dia
melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku dengan raut wajah yang heran
campur kawatir. Aku berusaha tersenyum biasa saja dan menengadahkan wajahku
untuk melihat wajahnya yang masih terheran-heran itu. “Eh, Niko. Kenapa?’
“Yang ada gue
yang nanya. Lu kenapa? Kok bengong sendirian begitu. Kesambet, ya?” katanya
pelan.
“Oh, ngga. Gue
ngga kenapa-napa kok. Gue.. gue ke kelas dulu ya. Dah.. Niko” kataku lalu
langsung mengambil langkah seribu meninggalkan Niko yang masih berdiri di depan
kelasnya dan terus memanggilku tapi tak ku hiraukan. Aku benar-benar merasa
malu. Ternyata, sejak tadi aku melamun dan tidak sadar saat Niko mulai
mendekatiku? Kalau begitu, yang tadi itu? Hanya khayalanku saja? Batinku
sedih. HUFFT! Benar-benar gila. Kalau saja hal tadi benar-benar terjadi, dimana
lagi aku bisa menaruh mukaku ini? Aku akan sangat malu untuk bertemu dengan dia
mungkin.
Aku mempercepat
langkahku dan segera masuk ke kelas. Setelah duduk di kursiku, aku segera
menundukkan wajahku dan menangis. Menangis karena merasa malu dan bodoh. Karena
aku tidak bisa mengutarakan perasaanku.
Karangan : Novitasari
Dipublikasikan pada buku Antalogi cerpen berjudul "Gadis Dalam Mimpi Radit"
THE END J